jump to navigation

SYEKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL UTSAIMIN (ULAMA PEMERSATU UMMAT DAN DA’I TELADAN) January 8, 2009

Posted by pakwandi in Muhammad Qasim Saguni.
Tags:
trackback

Oleh : Muhammad Kasim Saguni

MAHASISWA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR
TAHUN 1425 H/2005 M

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam memahami dan memperjuangkan Islam sekarang ini, ummat Islam terpolarisasi dalam beberapa kelompok, jama’ah, organisasi, yayasan, lembaga dan harakah. Sebutlah yang terbesar dan terkenal sebagaimana yang disebutkan sebagian dalam buku “Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Ad-Yaan wa Al-Madzahib Al Mu’ashirah” yang diterjemahkan oleh A. Najiyulloh kedalam bahasa Indonesia dengan “Gerakan Keagamaan dan Pemikiran”(Akar Idiologis dan Penyebarannya) antara lain adalah: Al-Ikhwan Al Muslimun, Jama’ah At-Tabligh, Hizb Al-Tahrir, Jama’at Islami, Jama’ah Al Anshar Al-Sunnah Al Muhammadiyah, Jama’ah Salafiyyah, Yayasan Al Haramain Al Khairiyyah, Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah. Itu dalam tataran dunia, sedangkan dalam skop nasional di Indonesia, adalah Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Al Irsyad, Persis, Wahdah Islamiyah, Islam Jama’ah (LDII), Jaringan Islam Liberal (JIL) dan lai-lain. Kelompok-kelompok dan jama’ah-jama’ah ini jika tidak terarahkan dengan baik dan bijak oleh pemimpin-pemimpinnya, maka sangat rentan terjadinya konflik.
Memahami kondisi realitas ummat Islam seperti yang digambarkan di atas, maka dunia Islam sangat merindukan lahirnya sosok Ulama (cukup mapan dalam ilmu syar’i) yang kharismatik dan bijaksana dalam mengarahkan dan mengayomi ummat ini menuju persatuan.
Disisi inilah peran sosok Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala, seorang Ulama di jazirah lahirnya Islam Saudi Arabia, beliau adalah Ulama dan Da’i yang sangat terkenal di dunia Islam, sangat gigih dan tekun berda’wah, berfatwa serta menyebarkan ilmunya kepada ummat.
Beliau tergolong Ulama yang hidup di abad kebangkitan Islam (abad 14 Hijriyah) bersama beberapa Ulama lainnya yang terkenal, seperti Syekh Abdul Aziz Bin Baz dan Syekh DR.Yusuf Al-Qardhawy. Sekalipun ummat cinta dan masih sangat butuh kehadirannya, namun Allah Azza Wajalla lebih mencintainya dan memanggil keharibaanNya pada tahun 1421 H/ 2001 M di usia 74 tahun.

B. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka terdapat beberapa masalah yang perlu dibahas, yaitu :
1. Mengenal Biografi Syekh Al Utsaimin
2. Pemikiran Syekh Al Utsaimin dalam memelihara persatuan ummat
3. Keteladanan beliau dalam da’wah

II. PEMBAHASAN
A. Biografi Syekh Al Utsaimin
Nama lengkap dan nasab beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin Utsaimin Al Wahibi At Tamimi. Beliau dilahirkan di kota Unaizah pada tanggal 27 bulan Ramadhan tahun 1347 H di dalam lingkungan keluarga yang terkenal beragama dan istiqamah.
Beliau belajar Al Quran kepada kakeknya dari jalan ibu, Abdurrahman bin Sulaiman Ali Damigh Rahimahullah, dan beliau menghafalkan Al Qur’an 30 juz. Kemudian beliau menuntut ilmu, belajar menulis , berhitung, dan ilmu sastra. Beliau dikaruniai oleh Allah kecerdasan, dan semangat yang tinggi untuk mendalami ilmu lewat para Ulama yang terkenal di masanya. Karena itu Syaikh Abdurrahman As Sa’di menempatkan dua orang muridnya di kediamannya untuk mengajar beliau, yang seorang bernama Syekh Ali Ash Shalihi dan seorang lagi Syekh Muhammad bin Abdul Azizi Al Muthawi, yang kepadanya beliau belajar Mukhtasar Aqidah Wasithiyah tulisan Syekh Abdur Rahman As Sa’di dan Minhajus Salikin fil Fiqhi tulisan Syekh Abdurrahman juga, demikian pula Jurumiyah dan Alfiyah. Beliau belajar Faraidh dan Fikih kepada Syekh Abdurrahman bin Ali bin Audan.
Beliau belajar kepada Syekh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di yang beliau anggap sebagai syekhnya yang pertama. Karena Al Utsaimin belajar kepada beliau tentang tauhid, tafsir, hadits, fikih, ushul fikih, faraidh, musthalah hadits, nahwu dan sharaf. Beliau mempunyai kedudukan khusus di sisi gurunya . Ketika ayah beliau syekh Muhammad Rahimahullah pindah ke Riyadh pada masa awal remaja beliau, beliau ingin ikut pindah bersama orang tuanya. Maka syekh Abdur Rahman As Sa’di menulis surat kepada ayah beliau “Sungguh ini tidak mungkin, kami ingin agar Muhammad tetap di sini supaya bisa terus belajar”. Beliau berkata “Saya banyak terpengaruh oleh gaya syekh Abdurrahman dalam mengajar, memaparkan ilmu, dan memberikan pendekatan kepada siswa melalui contoh-contoh dan ilustrasi. Saya juga terpengaruh oleh akhlak beliau karena beliau memiliki keluasan ilmu dan ibadah. Beliau biasa mencandai anak-anak, tertawa dengan orang yang besar dan berakhlak yang paling baik diantara orang-orang yang pernah saya lihat.”
Al Utsaimin selanjutnya belajar kepada Syekh Abdul Azis Bin Abdullah bin Baz (Syekh Bin Baz) yang merupakan syekh beliau yang kedua. Beliau belajar dari Syekh Bin Baz tentang Shahih Bukhari, beberapa risalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan beberapa kitab fikih. Beliau berkata :” Saya terpengaruh oleh syekh bin Baz dari segi perhatian terhadap hadits. Saya juga terpengaruh oleh beliau dalam segi akhlak dan sikap lapang dada beliau terhadap manusia.”
Pada tahun 1317, beliau mulai mengajar di Masjid Jami’ . Ketika beberapa ma’had ilmi dibuka di kota Riyadh, beliau memasukinya pada tahun 1372 H. Beliau berkata : “Saya memasuki ma’had ilmi mulai tahun kedua. Saya memasukinya dengan persetujuan syaikh ali ash shalihi dan telah meminta ijin kepada syaikh abdurrahman As Sa’di. Mahad ilmi pada masa itu dibagi 2 bagian, yaitu bagian umum dan khusus. Saya berada di bagian khusus. Pada masa itu, siapa yang menginginkan melompat artinya belajar di kelasnya sesuai ijazah terakhirnya, kemudian diuji pada awal tahun pelajaran kedua. Jika ia lulus maka ia bisa mengikuti kelas atasnya. Dengan demikian, masa belajar menjadi lebih pendek.” Dua tahun kemudian beliau lulus dan ditetapkan sebagai pengajar di Ma’had Unaizah Al Ilmi sambil melanjutkan kuliah jarak jauh di fakultas syariah dan belajar kepada syekh Abdur Rahman As Sa’di.
Ketika syaikh Abdur Rahman As Sa’di wafat, beliau diserahi kedudukan imam Masjid Jami’ Al Kabir Unaizah dan mengajar di perpustakaan nasional Unaizah di samping mengajar di fakultas syariah dan fakultas ushuluddin di cabang Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud di Qashim, dan menjadi anggota Majelis Ulama Besar di Kerajaan Saudi. Syekh mempunyai aktivitas besar dalam dakwah dan pembimbingan para da’i di berbagai tempat. Pernah Syekh Muhammad bin Ibrahim menawari bahkan mendesak beliau untuk menduduki jabatan sebagai hakim, bahkan mengeluarkan keputusan yang menetapkan beliau untuk menjabat sebagai pimpinan pengadilan agama di Ihsa’. Namun beliau memohon dibebaskan dari tugas tersebut. Dan setelah memberikan berbagai pertimbangan dan mengadakan hubungan pribadi dengan syekh Muhammad bin Ibrahim, syekh Muhammad dibebaskan dari jabatan tersebut. Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mempunyai banyak karya tulis, sampai sekitar 40 buah, di antaranya berupa kitab dan risalah. Insya Allah semua karya beliau akan dikodifikasikan menjadi satu kitab dalam Majmu’ul Fatawa war Rasa’il.
Beliau wafat pada tanggal 15 Syawal 1421 H/10 Januari 2001 M, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin meninggal dunia waktu ashar di jeddah, Saudi Arabia, beliau mengidap penyakit kanker.

B. Pemikiran Syekh Al Utsaimin Dalam Memelihara Persatuan Ummat
Salah satu karya beliau yang paling banyak memuat pemikiran-pemikiran tentang persatuan Ummat adalah Al Shahwah Al Islamiyah, Dhawabit Wa Taujihaat , diantara pemikiran-pemikiran itu adalah sebagai berikut:
1. Tatkala beliau ditanya tentang fenomena di sebagian negara-negara kaum muslimin dengan adanya berbagai partai dan jama’ah Islam, seperti Jama’ah Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Salafiyyun, Jama’ah Tabligh dan yang lainnya. Dan masing-masing jama’ah saling merendahkan dan mencela saudaranya, bahkan terkadang mengkafirkan dan menghukum fasiq satu sama lain. Maka beliau memberikan penjelasan sebagai berikut:
Sangat disayangkan sekali bila kita melihat saudara kita kaum muslimin terdapat ekstrimitas dalam memegang madzhab yang mereka jalani, karena ummat Islam berkewajiban menjadi ummat yang satu. Allah SWT berfirman dalam Q.s.al-Mu’minuun,23: 52

وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُون

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.”

Allah juga berfirman kepada Nabi SAW dalam Q.s.al-An’am, 6:159 sebagai berikut:

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”

Allah SWT selanjutnya berfirman dalam Q.s.al-Syura,42:13, yang artinya :

“Dia telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”

Maka inilah dasar Islam : yaitu agar umat Islam itu bersatu di atas agama Allah. Adapun perpecahan yang berkonsekwensi penyesatan atau pemfasikan atau pengkafiran orang lain ini, sama sekali tidak dibolehkan.
Dan saya katakan : Setiap insan itu mungkin terjatuh dalam kesalahan,
“Setiap bani Adam adalah suka berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang sering berbuat kesalahan adalah yang banyak bertaubat.”
(HR. At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad Darimy yang dihasankan oleh Syekh Al Al-Bany dalam Shahihul Jami’).

Artinya adalah orang-orang yang bertaubat dari kesalahan mereka. Sehingga jika kita melihat ksalahan dari salah satu jama’ah itu maka kewajiban atas kita adalah membicarakannya dengan mereka sampai kita dan mereka bersepakat di atas kalimat yang sama serta menjelaskan kesalahan ini. Dant idak menjadikan kesalahan ini sebagai jalan untuk mencela mereka dan memperingatkan (tahdzir) manusia (untuk mengambil faidah) dari mereka.
Jama’ah-jama’ah yang disebutkan oleh sang penanya itu haruslah menjadi satu jama’ah (yang berjalan di atas) Kitabullah dan Sunnah RasulNya, sebagaimana Nabi SAW bersabda, yang artinya:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضً
“Orang mukmin itu bagi orang mukmin lainnya laksana sebuah bangunan yang saling menguatkan satu sama lain.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Sehingga yang kurang disempurnakan oleh yang telah sempurna, dan yang kurang hendaknya berterima kasih kepada yang telah sempurna jika ia menjelaskan kesalahannya.
Adapun jika (yang terjadi justru) saling membuat orang lari antara satu sama lain, saling mencela satu sama lain dan saling memfasikkan satu dengan yang lain, maka ini menyelisihi apa yang dibawa oleh Islam.
Anda sekalian mengetahui bahwa Islam memerangi setiap apapun yang dapat mengakibatkan perceraiberaian dan perpecahan. Nabi SAW bersabda :
لَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ
“Janganlah kalian saling membenci dan janganlah saling membelakangi dan jangan saling menawar barang yang telah ditawar oleh yang lain, dan janganlah kalian membeli barang yang telah dibeli oleh orang lain, dan jadilah kalian para hamba Allah yang bersaudara (karena) seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain.” (HR.Muslim dari Abu Hurairah)

Inilah jalan Islam yang harus dijalani oleh kaum muslimin.
Saya juga mengatakan : jama’ah-jama’ah ini harus saling merujuk di antara mmereka serta menjelaskan kepada yang lain jika ia salah dan mengajaknya berdiskusi dalam masalah itu. Karena bisa jadi kesalahan justru ada pada orang yang memandang (saudaranya) salah. Sehingga kita dapat menjadi umat yang satu saling mencintai, menyayangi, menolong dan saling menyempurnakan satu dengan yang lain.
2. Beliau juga berpendapat bahwa tidak sepantasnya ummat dipecah-belah dengan mengatakan ini Ikhwani, ini Tablghi dan ini adalah Salafi . Beliau menyalahkan para aktifis yang berbuat seperti itu.
3. Pada saat yang lain beliau ditanya tentang sikap terhadap Jama’atut Tabligh (beberapa aktifis pemuda menghukum sesat dan ahlul bid’ah), yang menjalankan da’wah kepada Allah namun para pengikutnya pada akhirnya dibawa kepada ajaran tasawwuf dan memberikan bai’at kepada sang amir serta membaca dzikir-dzikir yang bersifat bid’ah. Beliau menjawab:
“Sikap seorang penuntut ilmu terhadap da’wah yang lahiriyahnya menunjukkan keshalihan dan perbaikan, hendaknya menyambutnya selama lahiriahnya menunjukkan kebaikan, akan tetapi ia berkewajiban memperbaiki kesalahan yang terdapat di dalamnya serta menjelaskan kekeliruan yang ada di dalamnya. Diantaranya adalah kewajiban memba’iat salah seorang dari mereka jika menjadi amir dan bukan waliyul amri.Adapun mengangkat salah satu dari mereka sebagai amir jika mereka keluar dari sebuah rihlah atau keluar dalam suatu perjalanan maka hal ini adalah termasuk ajaran syari’ah, karena Rasulullah SAW telah memerintahkan mereka yang dalam perjalanan – dan mereka dalam keadaan berjamaah – untuk mengangkat amir bagi mereka, karena sebuah jama’ah tanppa ada seseorang yang mengarahkan dan mengatur niscaya urusannya akan menjadi kacau. Sebagaimana dikatakan oleh penyair :
“Tidak dibenarkan manusia itu kacau tanpa ada yang memimpin mereka.”
Adapun mengangkat seorang pemimpin yang mereka bai’ati sebagai waliyul amri mereka dan bukan waliyul amri yang telah diwajibkan untuk mena’atinya oleh Allah, dan yang telah diwajibkana tas kita untuk loyal dan menolongnya dalam Al-Haq, maka hal itu tidak dibolehkan.
Memang terdapat orang-orang berda’wah ke jalan Allah yang lahiriahnya shalih namun mereka memiliki sisi yang menyimpang dari yang dibawa Nabi, maka mereka harus kita manfaatkan seperti keluar bersama mereka, menyertai dan melihat apa yang mereka lakukan, apabila kita menemukan mereka berada di atas kebatilan, kita pun menjelaskannya kepada mereka. Jika mereka mendapat petunjuk kepada Al-Haq dan kembali kepadanya maka inilah yang kita inginkan. Namun jika mereka bersikeras atas apa yang mereka jalani maka wajib menjauhi mereka serta menjelaskan kepada umat tentang kesesatan yang mereka jalani agar manusia tidak tertipu dengan penampilan lahirian mereka.”

4. Beliau tidaklah berarti latah dalam membela jama’ah-jama’ah da’wah yang dicela tetapi tetap istiqamah juga didalam menasihati dan mengeritik jama’ah-jama’ah tersebut. Hal ini bisa dilihat dari nasihat dan kritikan beliau terhadap Jama’ah Tabligh dalam beberapa hal, antara lain:
a. Kurangnya ilmu pada kebanyakan pengikut-pengikutnya, karena mempelajari/membaca satu kitab saja (Fadhail Al A’mal) padahal banyak kitab yang penting yang harus dibaca dan dipelajari yang merupakan warisan para Ulama.
b. Mereka pergi keluar negeri, kepada kaum yang merupakan pelaku khurafat, dan bahwa pemimpin rombongan ini ada yang terjatuh dalam perbuatan khurafat itu.
c. Mereka memandang bahwa keutamaan jihad fi sabilillah dapat dicapai dengan khuruj , hal ini adalah sesuatu yang tidak benar, karena ayat-ayat dan hadits-hadits yang menjelaskan tentang jihad fi sabilillah tidak lain dimaksudkan untuk jihad melawan orang-orang kafir. Adapun jihad fi sabilillah dengan khuruj dapat dikategorikan fi sabilillah secara umum, karena sabilillah digunakan untuk dua makna, umum dan khusus. Sehingga nash-nash yang menyebutkan tentang keutamaan para syuhada’, keutamaan pedang dan infaq untuk jihad itu tidak lain dimaksudkan untuk jiad yang berupa perang melawan musuh-musuh.
5. Syekh Al Utsaimin juga banyak memberikan nasihat dan arahan kepada para aktifis Islam untuk bersabar menghadapi berbagai serangan maupun tudingan. Diantaranya beliau bernasihat:
”Tidak mungkin kita menyumbat mulut manusia. Maka setiap harakah Islamiyah dan kebangkitan pastilah akan dilawan oleh orang yang tidak menghendaki kebenaran, karena Allah telah berfirman dalam kitabnya di surat Al Furqan (25):31, yang artinya:

“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong.”

Dan ambillah contoh yang dekat: Dahulu Rasulullah SAW sebelum diberi wahyu bersama dengan kaum Quraisy dalam posisi aman dan dipercaya, namun ketika Allah mewahyukan kepadanya beliaupun berubah (dituduh) menjadi seorang pendusta yang gila dan penyair, dan merekapun melempari beliau dengan segala macam aib.
Maka setiap harakah dan kebangkitan Islamiyah pasti akan mempunyai musuh-mush yang akan menegakkan perlawanan. Maka saya tidak bisa mengatakan bahwa fenomena ini dapat diberantas, akan tetapi saya (hanya dapat) mengatakan: hendaknya para pendukung kebaikan senantiasa bersabar dan berihtisab (mengharapkan pahala) serta membela diri sesuai dengan kemampuan, dan tentu saya menginginkan agar mereka berada dalam posisi yang kuat.”

C. Keteladanan Syekh Al Utsaimin Dalam Berda’wah
Da’wah ke jalan Allah merupakan salah satu amalan Islam yang memiliki banyak sekali keutamaan. Dr. Fadhl Ilahi dalam bukunya Al Hirshu ‘Ala Hidayatin Nas Fi Dhau’in Nushush wa Siyaris Shalihin menguraikan enam keutamaan bagi orang orang yang berda’wah di jalan Allah (Da’i), yaitu:
1. Da’i adalah sebaik-baik manusia dalam perkataan (Lihat QS.Fushshilat: 33)
2. Nabi SAW mendo’akan orang-orang yang menyampaikan ilmunya kepada orang lain (Sunan Ibnu Majah, 1/49, hadits no.244, dengan tahqiq Dr. Al-A’zhamy. Syekh Al-Al Bany dalam Shahihul Jami’ mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits shahih).
3. Allah SWT memberikan pahala besar bagi orang yang menjadi sales (perantara) seseorang dalam mendapatkan petunjuk (Shahihul Bukhary, Kitabul-Maghazy, 7/476, hadits nomor 4210)
4. Pahala seorang da’I seperti pahala orang yang mengamalkan pesan-pesannya (Shahih Muslim, Kitabul Imarah, 3/1506, hadits nomor 1893)
5. Rahmat Allah akan tercurah dan do’a penghuni langit dan bumi bagi orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia (Shahih At tirmidzy, Abwabul Ilmi, 2/343, hadits nomor 2159)
6. Pahala seorang da’i akan tetap mengalir sekalipun sudah meninggal dunia (HR.Muslim dari Abu Hurairah).
Syekh Al Utsaimin Rahimahullah menghayati betul keutamaan-keutamaan di atas, karena itu beliau sangat gigih dan ulet mengamalkannya (berda’wah, mengajar dan berfatwa) sampai sakit sekalipun beliau tetap berda’wah dari rumah sakit dengan menyambung microfon dari rumah sakit ke Masjidil Haram.
Berdasarkan kesaksian beberapa orang alumni mahasiswa Universitas Madinah Al Munawwarah yang sempat penulis wawancarai, mereka menuturkan beberapa fakta keuletan, kegigihan dan kesungguhan beliau dalam berda’wah, berfatwa dan mengajar, antara lain:
1. Beliau memiliki dars (pelajaran) rutin di Masjid Jami’ Unaizah setiap hari, berlangsung sore selesai shalat Ashar. Perlu diketahui bahwa dars ini sudah berlangsung lama dan beliau ke masjid dengan berjalan kaki kurang lebih satu km dari kediaman beliau sampai di usia tujuh puluhan.
2. Setiap bulan Ramadhan selama sebulan penuh, beliau memberikan dars di Masjidil Haram Makkah setiap malam dimulai setelah shalat tarwih pertama sampai menjelang shalat tarwih kedua sekitar jam 24.00. Beliau melanjutkan lagi darsnya setelah shalat fajr sampai pagi menyingsing. Salah satu buku beliau berjudul Majalis Syahri Ramadhan adalah merupakan kumpulan ceramah-ceramah beliau di bulan Ramadhan di Masjidil Haram.
3. Beliau juga rutin mengisi acara Nurun ‘Ala Al-Darb, sebuah acara tanya-jawab berdurasi 30 menit (jam 21.30 sampai 22.00) di salah satu radio di kota Riyadh. Acara ini juga sudah berlangsung bertahun-tahun.
4. Syekh Al Utsaimin berda’wah dan berfatwa juga lewat internet, salah satu situs beliau yang terkenal adalah http://www.ibnothaimeen.com yang dibuat oleh murid-murid beliau.
5. Selain itu banyak sekali ceramah-ceramah beliau Rahimahullah tersebar dalam bentuk kaset dan Compact Disk (CD).
Kehidupan beliau selain terkenal sederhana, juga terkenal pemurah dan dermawan. Dituturkan pula bahwa biaya kontrak rumah para murid-muridnya dibayar sendiri oleh beliau. Ketika ada yang bertanya kepada beliau, maka sangat diperhatikannya sampai sipenanya selesai mengemukakan pertanyaannya.

III. KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Syekh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin (Syekh Al Utsaimin) lahir di lingkungan keluarga yang memegang teguh agama, dan menghabiskan seluruh umurnya untuk menuntut ilmu dari para Ulama, berda’wah, berfatwa dan memberikan pelajaran. Hidupnya Insya allah penuh berkah bagi dirinya dan ummat selama 74 tahun (1347 – 1421 H).
2. Beliau sangat menginginkan persatuan ummat dan sangat membenci perpecahan, dengan menghujat, mencela dan memfonis jama’ah-jama’ah lainnya yang masih berpegang pada manhaj (pola pemahaman) Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
3. Syekh Al Utsaimin merupakan sosok Ulama dan Da’I teladan bagi ummat ini.Beliau telah membuktikan keuletan, kesungguhan dan kegigihannya dalam berda’wah memandu dan mengarahkan kebangkitan ummat Islam (Al Shahwah Al Islamiyah).

Semoga Allah Ta’ala merahmati beliau, membalas segala amal kebaikannya dengan syurga jannatun na’im, serta ilmunya bermanfaat bagi ummat.Aamin

Wallahu Ta’ala A’lam

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al- Karim dan Terjemahannya Ke Dalam Bahasa Indonesia (Di bawah Pengawasan Perwakilan Bagian Percetakan dan Penerbitan Pada Kementrian Agama, Wakaf, Da’wah, Dan Bimbingan Islam Riyadh Kerajaan Saudi Arabia)

Al- Sa’di, Abdurrahman bin Nashir,”Taysir Al Karim Ar Rahman fi Tafsiri Kalaammi Al Mannan”, Cet.I; Riyadh: Maktabah Al Ma’arif Li Al Nasyr Wa Al Tawzi’, 1420 H/1999M

Al Utsaimin, Muhammad Bin Shalih, Al Shahwah Al Islamiyah, Dhawabit Wa Taujihaat, Cet.III; Riyadh: Daar Al Qaasim Li An Nasyr, 1416 H

Ilahi, Fadhl, Al Hirshu ‘Ala Hidayatin Nas Fi Dhau’in Nushush wa Siyaris Shalihin diterjemahkan oleh Kathur Suhardi dan Munirul Abidin dengan judul “Menggugah Semangat berdakwah”, Cet.I; Hasanah Ilmu, Desember 1994.

Ibn Abdil Maqshud,Abu Muhammad Asyraf, Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah diterjemahkan oleh Muhammad Ihsan Ibn Zainuddin dengan judul Fatwa-fatwa Muslimah, Cet.I; Darul Falah, Dzulqa’dah 1421H.

Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMI, Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Ad-Yaan wa Al-Madzahib Al Mu’ashirah” yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Najiyulloh dengan judul “Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (Akar Idiologis dan Penyebarannya)”, Cet.I; Al-Ishlahy Press, 1993

sumber: http://www.qosimsaguni.co.cc

Comments»

No comments yet — be the first.

Leave a comment